Minggu, 09 November 2014

Psikologi Manajemen

Fieky Fansuri (12512927) 
3PA11


Carilah berbagai bentuk teori motivasi (minimal 3) yang dianggap tepat untuk bisa menggerakan proses kerja karyawan dilakukan dengan penuh semangat. Uraikanlah teori-teori tersebut secara lengkap!

Teori Motivasi yang dianggap tepat untuk bisa menggerakkan proses kerjaa karyawan dilakukan dengan penuh semangat. 

a. Teori Hierarki Kebutuhan Teori Hierarki Kebutuhan milik Abraham Maslow dapat dikatakan sebagai teori motiasi paling terkenal. Ia membuat hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah: 
1) Fisiologis Meliputi rasa lapar, haus, berlindung, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya. 
2) Rasa Aman Meliputi rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional. 
3) Sosial Meliputi        rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan dan persahabatan.
4) Penghargaan Meliputi factor-faktor penghargaan internal seperti hormat diri, otonomi, dan pencapaian; dan factor-faktor penghargaan eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian. 
5) Aktualisasi Diri Dorongan untuk menjadi seseorang sesuai kecakapannya; meliputi pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri. Dari sudut pandang motivasi, teori tersebut mengatakan bahwa meskipun tidak ada kebutuhan yang benar-benar dipenuhi, sebuah kebutuhan yang pada dasarnya telah dipenuhi tidak lagi memotivasi. Jadi bila ingin memotivasi seseorang, menurut Maslow, kita harus memahami tingkat hierarki di mana orang tersebut berada saat ini dan focus untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan di atau di atas tingkat tersebut. Teori kebutuhan Maslow telah menerima pengakuan luas, terutama di antara para manajer pelaksana. Hal ini dapat dikaitakn dengan logika intuitif dan kurangnya pemahaman dari teori tersebut.

b. Teori X dan Teori Y Douglas McGregor
 mengemukakan dua pandangan nyata mengenai manusia: pandangan pertama pada dasarnya negative, disebut Teori X (Theory X), dan yang kedua pada dasarnya positif, disebut Teori Y (Theory Y). Setelah mengkaji cara para manajer berhubungan dengan para karyawan, McGregor menyimpulkan bahwa pandangan manajer mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu dan bahwa mereka cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan berdasarkan aumsi-asumsi tersebut. Menurut Teori X, empat asumsi yang dimiliki oleh manajer adalah:
1) Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan, sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya. 
2) Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan. 
3) Karyawan akan mengindari tanggung jawab dan mencari perintah formal bila mungkin. 
4) Sebagai karyawan menempatkan keamanan di atas semua factor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi. 

Bertentangan dengan pandangan-pandangan negative mengenai sifat-sifat manusia dalam teori X, McGregor menyebutkan empat asumsi positif yang disebut sebagai teori Y: 
1) Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain. 
2) Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan. 
3) Karyawan bersedia belajar untuk menerima, bahkan mencari tangguang jawab. 
4) Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen. 

Teori X berasumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan tingkat yang lebih rendah mendominasi individu. Teori Y berasumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan tingkat yang lebih tinggi mendominasi individu. McGregor sendiri yakin bahwa asumsi-asumsi Teori Y lebih valid daripada Teori X. oleh karena itu, ia mengemukakan berbagai ide seperti pembuatan keputusan partisipatif, pekerjaan yang menantang, serta hubungan kelompok yang baik sebagai pendekatan yang akan memaksimalkan motivasi pekerjaan seorang karyawan.

c. Teori Dua Faktor Teori dua faktor (two-factor theory) juga disebut teori motivasi hygiene (motivation-hygiene theory) dikemukakan oleh seorang psikolog bernama Frederick Herzberg. Dengan keyakinan bahwa hubungan seorang individu dengan pekerjaan adalah mendasar dan bahwa sikap seseorang terhadap pekerjaan bisa dengan sangat baik menentukan keberhasilan dan kegagalan. Herzberg menyelidiki pertanyaan tersebut, “Apakah yang diinginkan individu dari pekerjaan-pekerjaan mereka?” Ia meminta individu untuk mendeskripsikan secara mendetail situasi-situasi di mana mereka merasa luar biasa baik atau buruk dengan pekerjaan-pekerjaan mereka. Respon-respon ini kemudian ditabulasi dan dikategorikan Dari respon-respon yang dikategorikan, Herzberg menyimpulkan bahwa jawaban-jawaban yang diberi oleh individu ketika mereka merasa baik dengan pekerjaan-pekerjaan mereka berbeda secara signifikan dari jawaban-jawaban yang diberikan ketika mereka merasa buruk. Respon yang merasa baik dengan pekerjaan mereka cenderung menghubungkan faktor intrinsik, seperti: kemajuan, pengakuan, tanggung jawab dan pencapaian dengan kepuasan kerja mereka sendiri. Namun, respon-respon yang tidak puas cenderung menyebutkan faktor-faktor ekstrinsik, seperti pengawasan, imbalan kerja, kebijaksanaan perusahaan, dan kondisi-kondisi kerja. Data tersebut menunjukkan, menurut Herzberg, bahwa lawan dari kepuasan bukanlah ketidakpuasan, seperti yang pada umumnya kita ketahui. Menghilangkan karakteristik-karakteristik yang tidak memuaskan dari suatu pekerjaan belum tentu membuat pekerjaan tersebut memuaskan. Menurut Herzberg, faktor-faktor yang menghasilkan kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor-faktor yang menimbukan ketidakpuasan kerja. Oleh karena itu, manajer yang berusaha menghilangkan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja mungkin menghadirkan kenyamanan, namun bukan memotivasi. Sebagai hasilnya, kondisi-kondisi yang melingkungi pekerjaan seperti kualitas pengawasan, imbalan kerja, kebijaksanaan perusahaan, kondisi fisik pekerjaan, hubungan dengan individu lain, dan keamanan pekerjaan digolngkan oleh Herzberg sebagai faktor-faktor hygiene. Ketika faktor-faktor tersebut memadai orang-orang tidak akan merasa tidak puas, namun bukan berarti mereka merasa puas. Jika kita ingin memotivasi individu dalam pekerjaan mereka, Herzberg menyatakan penekanan faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri atau dengan hasil-hasil yang berasal darinya—seperti peluang promosi, peluang pengembangan diri, pengakuan, tangguang jawab, dan pencapaian.


Carilah teori yang menjelaskan tentang pola asuh kepemimpinan (otokratik, demokratik, dan permisif). Buatkanlah uraian tentang situasi yang tepat untuk menerapkan kepemimpinan!

Pola Kepemimpian 
a. Otokratik Kepemimpinan otokratik atau sering disebut juga kepemimpinan otoritan merupakan pola kepemimpinan dimana pemimpin mengatakan apa yang diinginkannya, dan bagaimana mengimplemantasikan keinginannya, tanpa meminta penddapat dan masukan dari bawahannya. Dan bawahannya harus melaksanakannya. Pola kepemimpinan ini berorientasi pada tugas (task-oriented : kerja dan kerja). Pemimpin yang otorite, misalnya, tidak suka dikritik, apalagi dikecam. Ia selalu menganggap dirinya benar, paling tahu dan paling bijak. Oleh karena itu, ia tidak dapat menerima perbedaan pendapat. Ia menghukum dan tidak dapat menoleransi siapa saja yang tidak melaksanakan, apalagi menjegal perintahnya. Gaya otokratik lebih disukai dan dibutuhkan oleh komandan di medan pertempuran. Karena tidak ada orang lain yang diajak konsultasi, gaya otokratik memungkinkan pembuatan keputusan yang cepat. Jadi, gaya tersebut akan berguna dalam kondisi pengujian keefektifan suatu perusahaan terhadap pesaing yang berdasarkan pada waktu (time-based competitor). 

b. Demokratik Pola kepemimpinan demokratik dimana pemimpin selalu mangajak beberapa perwakilan bawahan dalam proses pengambilan keputusan. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan pemimpin. Pola kepemimpinan ini berorientasi pada orang (people oriented), apresiasi tinggi pada staf dan sumbangan pemikiran dari mana pun. Pemimpin demokratis selalu melibatkan staf atau pembantu dalam mengambil keputusan. Ia berusaha mendengar berbagai pendapat, menghimpun dan menganalisis pendapat-pendapat tersebut untuk kemudian diambil pilihan yang dipandang paling tepat. Contohnya, seorang manajer mungkin meminta anggota kelompok lainnya untuk mewawancarai dan menawarkan pendapat mengenai sekelompok pelamar. Akan tetapi, manajer itu sendiri yang pada akhirnya akan membuat keputusan akhir. 

c. Permisif Kepemimpinan Permisif juga sering disebut dengan kepemimpinan laissez-faire, yaitu dimana pemimpin mempersilahkan bawahannya untuk membuat keputusan. Karena telah mendelegasikan sebagian kewenangannya, pemimpin percaya terhadap apa yang diputuskan dan dilaksanakan oleh bawahan. Tapi, pemimpin tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas. Laissez-faire sesungguhnya tidak mempunyai orientasi. Ia sepertinya tidak terlampau serius menangani permasalahan sebab dianggap sudah ada pembantunya yang bekerja untuk itu. Pemimpin laissez-faire tidak terlalu pusing dengan jalannya pemerintahan. Ia memberikan full delegation of authority kepada para pembantu di bidangnya masing-masing. Para manajer yang menerapkan gaya kepemimpinan ini umumnya berperan sebagi penasihat bagi bawahan yang diperbolehkan membuat keputusan, ketua komite sukarela yang sedang mengumpulkan dana untuk perpustakaan baru mungkin melihat gaya laissez-faire sebagai gaya yang paling efektif. Tanpa mengabaikan teori-teori mengenai bagaimana pemimpin seharusnya memimpin, keefektifan semua pola kepemimpinan sangat bergantung pada keinginan para bawahan dalam berbagai masukan dan melatih kreativitas. Sebagai contoh, beberapa orang frustasi, sedangkan beberapa lainnya menyukai manajer yang otokratik karena mereka tidak menginginkan dukungan suara dalam pembuatan keputusan. Sementara itu, pendekatan demokratis bisa menjadi tidak menyenangkan bagi orang-orang yang ingin memikul tanggung jawab pembuatan keputusan maupun bagi yang tidak. Pola laissez-faire sangat bergantung pada kreativitas karyawan, dan pada solusi kreatif atas masalah-masalah yang ada. Pola itu juga menarik bagi karyawan yang ingin merencanakan pekerjaan mereka sendiri. Masalahnya, tidak semua bawahan mempunyai latar belakang atau keahlian yang diperlukan untuk membuat keputusan yang kreatif. Sementara, lainnya tidak cukup termotivasi untuk bekerja tanpa pengawasan. 



Daftar Pustaka : Robbins, S. P., dan Judge, T. A. (2008). Perilaku organisasi. Jakarta: Salemba Griffin, R. W., dan Ebert, R. J. (2007). Bisnis edisi kedelapan. Jakarta: Eirlangga Lesmana, T. (2009). Dari Soekarna sampai SBY: intrik& lobi politik para penguasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama